Mbah Rekso dan Kuda Putih

Ragam Jatim
0

Ragamjatim.com - Mbah.. kudanya sangat bagus. Saya tertarik membelinya," kata cak Mat, pria yang datang ke kediaman si mbah Rekso, dengan beberapa temannya, cak Dul, cak Rawi, cak Ipul.
"Kuda ini tidak saya jual nak..," singkat mbah Rekso.
"Ayo lah mbah.. mbah minta harga berapa? saya bayar kontan," timpal cak Dul.
"Apa mbah minta sepadan dengan harga rumah dan tanah saya?," desak cak Rawi.
"Mbah mau kalau saya beli dengan kurs dollar Amerika," sahut cak Ipul.

Meski hidupnya sederhana bersama isteri dan cucunya, mbah Rekso sangat menyayangi kudanya. Baginya, kuda itu ibarat cucu nomer dua. Kuda milik mbah Rekso itu memang bagus. Warna putih mulus, badannya besar, rambutnya terurai indah. Tak ada tandingannya di kampungnya, bahkan se-kabupaten.

"Saya tidak menjualnya nak, berapa pun anda menawarnya". Tampaknya, si mbah Rekso teguh pada pendiriannya.

Cak Dul beserta temannya kemudian pulang dengan sedikit kecewa. Tak lama berselang, mereka datang lagi ke gubuk reot mbak Rekso. Tapi kali ini mereka datang tidak berempat. Mereka membawa banyak orang untuk menawar kuda bagus milik si mbah.

"Mbah.. kenapa engkau tidak menjual kuda itu, meski kami menawarnya dengan harga selangit," tanya cak Madun.
"Jika engkau sepakat dengan harga selangit itu, engkau bisa membeli apa saja. Tanah, sepeda, memperbaiki rumah, dan lainnya," bujuk cak Dul.
"Tawaran selangit itu sebuah anugerah lho mbah. Jika engkau menolaknya, jangan-jangan ini menjadi musibah bagimu mbah," cak Madun laiknya sang kyai.
"Hai nak.. Janganlah kalian terlalu cepat menilai, apakah itu sebuah anugerah atau musibah. Yang saya tahu kuda ini tidak saya jual. Itu saja. Jangan membuat penafsiran yang terkesan mengada-ada. Kita semua tidak tahu apa yang bakal terjadi di esok hari. Ibaratnya, kalian masih membaca 1 halaman diantara sebuah buku tentang hidup," mbah Rekso men-tausyiahi mereka.

Dua hari kemudian, kuda bagus milik mbah Rekso tidak berada di kandangnya. Banyak orang terkejut dengan peristiwa yang menimpa si mbah. Cak Mat dan orang-orang yang pernah bersamanya, kembali datang ke gubuk si mbah.

"Mbah.. Apa yang saya bilang saat itu benar kan?. Mungkin kali ini engkau mendapat musibah. Lain cerita jika mbah saat itu mau menjualnya kepadaku," kata cak Madun.
"Iya mbah.. kini kuda milik mbah hilang. Maka hilang sudah kesempatan mendapatkan uang," timpal cak Mat.
"Sekali lagi saya beritahu ya.. Jangan terlalu cepat menilai, tidak adanya kuda saya di kandanganya itu bukan berarti hilang, dicuri atau menjadi musibah bagiku. Yang saya tahu, kuda itu tidak ada di kandangnya. Itu saja," kata mbah Rekso.
"Ingatlah perkataanku. Kita tidak tahu apa dibalik rahasia sebuah peristiwa. Peristiwa datang dengan sepotong-sepotong, maka janganlah cepat menilai ini musibah atau anugerah," tambah mbah Rekso mengingatkan.

Mereka pun akhirnya pulang. Sementara mbah Rekso hanya duduk merenung di kursi bambu buatannya sendiri yang berada di sebelah kanan kandang , sambil menunggu kudanya datang.

Seminggu berlalu, akhirnya kuda putih kesayangan mbah Rekso kembali pulang. Kali ini kuda itu tidak pulang sendiri. Si kuda itu bahkan membawa kuda liar dari hutan sebanyak 12 ekor.

Kabar ini sontak menggemparkan se-kampung. Cak Mat bersama teman-temannya pun kembali menemui mbah Rekso.
"Mungkin waktu itu kami salah menilai. Ternyata kuda milik mbah tidak hilang, atau tidak dicuri," kata cak Mat sembari meminta maaf.
"Iya mbah… kami ternyata salah menilai. Mungkin ini sebuah anugerah untuk mbak Rekso. Buktinya, kuda putih itu membawa 12 ekor kuda dari hutan," sahut cak Rawi.
"Mbah.. dengan bertambahnya kuda mbah. Tentu mbah akan mendapat uang lebih banyak lagi jika semuanya dijual. Ini memang sebuah anugerah mbah," timpal cak Ipul tak kalah.
"Jangan terlalu cepat menilai apakah peristiwa ini sebuah anugerah atau musibah. Yang saya tahu, kuda putih milik saya membawa 12 ekor kuda liar kesini. Itu saja," jawab si mbah.

Mbah Rekso tetap tak bisa dirayu. Mereka pun kemudian pulang tanpa kuda seekor pun. Sementara di gubuk sana, Dwi, cucu mbah Rekso mencoba menjinakkan kedua belas kuda yang dibawa si kuda putih. Hingga sebelas ekor berhasil dijinakkan dengan mudah. Sementara satu ekor lagi bisa dijinakkan, tapi Dwi harus membayarnya dengan mahal. Ia jatuh dari tunggangan kuda itu, menyebabkan kedua kaki Dwi patah.

Mendengar kabar kedua kaki Dwi patah, cak Mat bersama temannya kembali mendatangi mbah Rekso.

"Benar kata engkau mbah… ternyata hadirnya 12 kuda liar tersebut bukan sebuah anugerah bagi mbah. Buktinya, cucu mbah sekarang tidak bisa berjalan karena kedua kakinya patah," kata cak Mat memulai.
"Peristiwa ini tentu musibah bagi engkau mbah," sahut cak Rawi.
"Coba kalau semua kuda itu dijual, tentu tidak akan membuat kedua kaki Dwi patah," cak Ipul menyahuti.
"Sekali lagi, janganlah terlalu cepat menilai apakah peristiwa ini musibah atau anugerah nak… yang saya tahu, cucu saya jatuh dari kuda dan kedua kakinya patah. Itu saja. Kalian masih membaca satu halaman diantara sebuah buku kehidupan," jawab mbah Rekso.

Lima belas hari kemudian, negeri ini dilanda peperangan. Hingga pemerintah mewajibkan para pemuda ikut angkat senjata untuk membela negara. Tak terkecuali pemuda di kampung tempat mbah Rekso tinggal.

Semua orang tua menjadi resah, cak Mat, cak Dul, cak Rawi, cak Ipul, cak Madun, dan lainnya. Karena anak-anak mereka diharuskan berangkat mengikuti pelatihan perang dan dikirim ke barak. Kecuali Dwi, cucu mbah Rekso, yang memang dalam kondisi kedua kakinya patah.

Mereka pun kembali datang ke gubuk mbah Rekso.

"Ternyata, peristiwa ini menjadi anugerah bagi engkau mbah," kata cak Dul sedih.
"Hanya Dwi yang tidak bisa dikirim ke medan perang karena kondisinya sakit," terus cak Dul.
"Sementara anak-anak kami harus berangkat ke medan perang membela negara. Kecil kemungkinan mereka kembali kesini. Hidup bersama kami seperti sebelumnya," sahut cak Mat tak kalah sedih.
"Kondisi ini membayangkan kami akan kehilangan anak-anak kami," cak Rawi sambil menitikkan air mata.
"Nak… aku sudah kenyang dengan pahit manis kehidupan. Janganlah cepat menilai sebuah peristiwa itu anugerah atau musibah. Janganlah terburu-buru menilai jika kalian masih membaca satu halaman sebuah buku. Nilailah saat kalian sudah membaca semua halaman di buku itu. Apakah buku itu bagus atau tidak. Begitu pun dalam kehidupan ini," tutur si mbah.
"Yang paling penting adalah husnudlhon ilallah (berbaik sangka kepada Allah SWT). Ini yang akan membawa kalian hidup penuh makna," sambung mbah Rekso. (*)

Tags

Posting Komentar

0 Komentar
Posting Komentar (0)

#buttons=(Ok, Go it!) #days=(20)

Situs web kami menggunakan cookie untuk meningkatkan pengalaman Anda. Pelajari Lebih Lanjut
Ok, Go it!
To Top